Reog Ponorogo merupakan salah satu pertunjukan topeng terbesar yang ada di muka bumi. Dalam Reog Ponorogo terdapat perpaduan beberapa karakter tarian. Karakter tarian kuat yang diwakili oleh penari dadak merak, karakter urakan, jenaka dan lincah diwakili oleh Bujang Ganong, karakter lembut dan tegas yang diwakili oleh tarian Klana Sewandana dan jathil atau prajurit berkuda.
Perbedaan karakter tersebut langsung
ditunjukkan dengan pemilihan gerakan yang sangat menyolok, tanpa keraguan dan
tegas. Hal tersebut menunjukkan perwatakan dari masyarakat Ponorogo. Mereka
tidak mengenal abu-abu hanya ada hitam dan putih. Hal ini dapat dilihat dalam
pemilihan warna pada Reog Ponorogo. Warna hitam, merah, kuning, mendominasi
atribut yang dipakai.
Salah satu filosofi yang populer di
Ponorogo adalah "yen lemes kena gawe tali nanging yen kaku kena gawe pikulan". Terjemahan bebasnya adalah bila lentur bisa dibuat tali namun bila keras bisa digunakan
untuk memikul. Dua kata yang sangat berbeda lentur dan kaku tidak ada yang
ragu-ragu. filosofi ini diajarkan turun temurun pada masyarakat Ponorogo.
Masyarakat Ponorogo memiliki tokoh
yang biasanya dipanggil warok. Berbeda dengan warok yang ditampilkan dalam tari
Reog yang digambarkan dengan baju hitam dan bersenjatakan kolor. Warok yang
dikenal di masyarakat merupakan orang yang memiliki daya linuwih dibanding
orang biasa. Biasanya
para warok memiliki pengikut fanatik yang tiap bulan Suro selalu berkumpul.
Ponorogo memiliki agenda tahunan
yang bertujuan untuk menyambut tahun baru Jawa, yang lebih populer dengan
sebutan Suran. Berbagai macam kegiatan digelar mulai pawai budaya, larung
sesaji, pameran tosan aji, pameran tanaman hias dan Festival
Reog Ponorogo (FRN) yang bertaraf nasional.
Festival Reog bertujuan untuk melestarikan dan memperkenalkan Reog Ponorogo. Pesertanya terdiri dari berbagai macam daerah. Sehingga pada saat pagelaran FRN dimulai, Ponorogo menjadi sosok kota yang seakan-akan berbeda. Ramai sudah jelas, suasana Reog yang biasanya biasa saja menjadi terasa sangat kental.
Festival Reog bertujuan untuk melestarikan dan memperkenalkan Reog Ponorogo. Pesertanya terdiri dari berbagai macam daerah. Sehingga pada saat pagelaran FRN dimulai, Ponorogo menjadi sosok kota yang seakan-akan berbeda. Ramai sudah jelas, suasana Reog yang biasanya biasa saja menjadi terasa sangat kental.
Awal mulanya
FRN berhasil menghidupkan geliat berkesenian Reog, namun efek sampingnya juga
terlihat. Bergesernya Reog dari kesenian tradisi
menjadi kesenian Reog yang dibungkus ala barat dengan penonton dan yang
ditonton sangat jelas pembatasnya. Hal ini mengakibatkan penonton tidak bisa terlibat
aktif dalam pertunjukan. Pementasan Reog non FRN penonton dan yang ditonton
seakan-akan bersatu menjadi satu. Penonton membentuk lingkaran sedangkan pemain
berada di tengah lingkaran tersebut.
Pada saat
pementasan reog tradisi atau biasa disebut obyokan, penonton bisa ambil bagian
menjadi penari ataupun ikut memainkan alat musik. Hal ini tidak perlu diminta
ataupun diumumkan namun sudah menjadi tradisi turun temurun. Penonton yang
terlibat aktif biasanya kenal dengan beberapa orang yang sedang main. Tanpa
harus dimintai tolong ataupun dibayar, mereka membantu dengan sukarela dan
terkadang hanya ucapan terima kasih yang mereka dapat.
Berbeda
dengan pementasan obyokan, dalam pementasan format FRN penonton tidak bisa
terlibat aktif dalam pertunjukan. Pemainnya pun terkadang terdiri dari pemain
profesional yang biasanya mematok harga untuk setiap pementasan. Adanya gengsi
juara FRN mengakibatkan banyak grup yang berlomba-lomba mendatangkan pemain
dari luar sekaligus pelatihnya untuk mendapatkan juara.
Semangat ini berbeda dengan semangat seniman tradisi dimana Reog tidak untuk juara, namun untuk mengumpulkan teman sehingga pementasan bisa terasa ‘gayeng’. FRN yang mencari juara mengakibatkan seniman tradisi tersisih dari pertunjukan kota. Akhirnya mereka membuat acara tandingan yang berpusat di daerah Sumoroto dan membuat panggung sendiri atas nama pelestarian cikal bakal kerajaan Bantarangin.
Semangat ini berbeda dengan semangat seniman tradisi dimana Reog tidak untuk juara, namun untuk mengumpulkan teman sehingga pementasan bisa terasa ‘gayeng’. FRN yang mencari juara mengakibatkan seniman tradisi tersisih dari pertunjukan kota. Akhirnya mereka membuat acara tandingan yang berpusat di daerah Sumoroto dan membuat panggung sendiri atas nama pelestarian cikal bakal kerajaan Bantarangin.
Masyarakat
Ponorogo juga menganut bahwa orang yang meninggalkan kampung halaman hanya ada
dua macam yang pertama wirang (malu) dan yang kedua kurang. Wirang disini
karena tingkah laku orang tersebut dan menjadikan dia malu sehingga harus
meninggalkan Desa. Sedangkan kurang dikarenakan kurang mapan ataupun kurang
ilmu, untuk yang kurang mapan biasanya mereka mencari kerja di luar Ponorogo
pun demikian untuk yang kurang Ilmu.
Yang menarik, hampir setiap orang yang meninggalkan Ponorogo walau sebelumnya tidak pernah terlibat dengan Reog, begitu berada di tempat baru mereka akan terlibat di dalamnya. Entah sebagai pemain atau hanya simpatisan sehingga muncul grup-grup Reog yang tersebar di berbagai daerah.
Yang menarik, hampir setiap orang yang meninggalkan Ponorogo walau sebelumnya tidak pernah terlibat dengan Reog, begitu berada di tempat baru mereka akan terlibat di dalamnya. Entah sebagai pemain atau hanya simpatisan sehingga muncul grup-grup Reog yang tersebar di berbagai daerah.
Sumber: http://ngrembol-ngrembol.blogspot.co.id/2014/06/ponorogo.html
0 komentar:
Posting Komentar