Cerita Warok Ponorogo, Jawa Timur, dimulai dengan legenda tokoh sakti. Perubahan zaman menghadapkan budaya itu pada banyak dilema. Konsep warok pun tertantang untuk ditafsirkan ulang sesuai semangat jaman.
Warok Suromenggolo,
diperkirakan hidup pada jaman Kerajaan Majapahit, mengawali kisah mistis
itu. Warok itu memiliki kolor sakti yang bisa membunuh lawan. Pusakanya yang
lain, luyung bang, bisa menghidupkan orang mati.
Dikisahkan, putri
Suromenggolo bernama Cempluk jatuh cinta pada Subroto, putra penguasa
Trenggalek. Tetapi, Suminten, putri Warok Surogentho, juga terpikat dengan
pemuda yang sama. Kedua warok itu pun bertarung demi membela anaknya, dan
Suromenggolo menang. Kisah kolor sakti
Suromenggolo melahirkan legenda kedigdayaan warok yang jadi kebanggaan
masyarakat.
Warok dicitrakan sebagai kelompok kuat yang disegani. Namun, kelebihan ini justru menghadapkan mereka pada ketegangan sosial-politik. Ketegangan bermula dari kelahiran reog oleh Demang Ki Ageng Kuthu Suryongalam, perwakilan pemerintah Kerajaan Majapahit di wilayah yang kini dikenal sebagai Ponorogo pada masa kekuasaan Bhre Kertabumi yang bergelar Brawijaya V (1468-1478).
Warok dicitrakan sebagai kelompok kuat yang disegani. Namun, kelebihan ini justru menghadapkan mereka pada ketegangan sosial-politik. Ketegangan bermula dari kelahiran reog oleh Demang Ki Ageng Kuthu Suryongalam, perwakilan pemerintah Kerajaan Majapahit di wilayah yang kini dikenal sebagai Ponorogo pada masa kekuasaan Bhre Kertabumi yang bergelar Brawijaya V (1468-1478).
Kuthu menilai, raja gagal
memimpin rakyat dengan adil karena dipengaruhi permaisuri. Kuthu menghimpun
warok untuk dilatih sebagai prajurit. Tetapi, niat makar urung dilaksanakan,
dan para warok diajak memainkan seni reog. Dalam barongan, raja dilukiskan
sebagai kepala harimau, yang ditunggangi merak berbulu indah. Itulah sindiran
halus bahwa raja telah disetir permaisuri.
Warok Tobroni (70) dari
Cokromenggalan mengungkapkan, Belanda berusaha memecah belah warok agar tidak
memberontak. Politik devide at impera berhasil menciptakan permusuhan di
kalangan warok, dan itu berlangsung hingga menjelang kemerdekaan. Warok lekat
dengan citra kekerasan. Islam yang masuk ke Ponorogo juga memanfaatkan warok
dan reog sebagai sarana dakwah, sebagaimana dilakukan Ki Ageng Mirah dan
Bethoro Kathong. Jargon-jargon warok ditafsirkan dalam perspektif agama. Kata
warok sendiri dirujukkan pada kosakata Arab, wara', yang berarti orang yang
saleh dan alim.
Konflik politik berdarah tahun 1965 telah menyeret warok Ponorogo dalam ketegangan. Menurut peneliti tradisi di Universitas Jember, Ayu Sutarto, partai politik memanfaatkan warok dan reog untuk menggalang massa. Warok dan reog terpecah jadi beberapa kelompok yang bermusuhan. Partai Komunis Indonesia (PKI) menyusupi Barisan Reog Ponorogo (BRP), sedangkan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) memegang Barisan Reog Nasional (Bren). Muncul pula Cabang Kesenian Reog Agama (Cakra) yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama (NU).
Suasana mencekam, banyak
warok jadi korban. Mereka beradu kesaktian atau menyelamatkan diri. Beberapa
warok selamat dari peristiwa itu dengan mengandalkan ilmu kanuragan. Mbah Kakuk
Senen (83), warok asal Desa Bulu Lor, Kecamatan Jambon, bercerita, rumahnya
pernah dikepung banyak orang. "Saya selamat setelah merapal wirid ilmu
menghilang," katanya. Mobilisasi politik Orde Lama berganti politik massa
mengambang (floating mass) pada era Orde Baru. Warok tetap diincar sebagai
kendaraan politik. Partai memanfaatkan media tradisional itu untuk menyuarakan
pesan politik. Barongan dan dadak merak kerap muncul dalam kampanye dengan
dominasi warna partai.
Identitas Pemerintah Kabupaten
Ponorogo saat ini mengarahkan warok dan reog sebagai identitas budaya daerah.
Seni reog dibakukan, seperti dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo.
Sejak tahun 1994, pemerintah menggelar Festival Reog dan Garebeg Syuro. Menurut
pengajar Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, Tugas Kumorohadi, citra
warok dan reog makin berorientasi menjadi pertunjukan panggung. Reog dinilai dari aspek
dramaturgi, tarian, dan tata busana yang serba seragam, manis, dan gemerlap. "Warok dan reog masuk
dalam paket komoditas wisata. Ruh warok sebagai manusia unggul dan reog sebagai
ekspresi seni rakyat surut," katanya.
Menurut warok asal Sumoroto, Mbah Wo Kucing (70), warok sebaiknya jangan terbawa arus zaman, melainkan kukuh memberikan wewarah (pengajaran) nila-nilai luhur pada masyarakat. Warok juga dituntut menguasai ilmu kaweruh (kebijaksanaan spiritual), meniti jalan kemanusiaan sejati (reh kamanungsan sejati), dan warok jadi sumber ketenteraman batin.
Menurut warok asal Sumoroto, Mbah Wo Kucing (70), warok sebaiknya jangan terbawa arus zaman, melainkan kukuh memberikan wewarah (pengajaran) nila-nilai luhur pada masyarakat. Warok juga dituntut menguasai ilmu kaweruh (kebijaksanaan spiritual), meniti jalan kemanusiaan sejati (reh kamanungsan sejati), dan warok jadi sumber ketenteraman batin.
Warok-warok tua merupakan
simpul penting untuk menelusuri identitas budaya masyarakat Ponorogo. Kehadiran
mereka mengukuhkan kearifan lokal (nilai, estetika, dan ilmu pengetahuan masa
lalu) yang semakin terdesak kapitalisasi dan penyeragaman semua aspek kehidupan.
Warok-warok sepuh itu pada
waktunya akan meninggal. Jika generasi berikutnya gagal menangkap dan
melestarikan spirit warok, bisa jadi tradisi ini tinggal sejarah. Banyak orang
Ponorogo yang memakai pakaian warok, tetapi semakin sulit menemukan warok.
Sumber: Yustina WA, http://legendaponorogo.blogspot.co.id/2015/09/warok-suro-menggolo.html
0 komentar:
Posting Komentar