Ada 9 desa perdikan di Ponorogo, diantaranya Setono, Pulung Merdiko, Menang, Nglarangan, Taman Arum, Tegalsari, Karanggebang, Srandil, dan Tajug. Istilah perdikan mirip dengan merdeka, hamardiko, mahardika, ataupun bebas. Desa perdikan merupakan bentuk apreasiasi (hadiah) dari raja yang diberikan kepada rakyatnya yang diangap berjasa pada negaranya. Dan terjadinya desa perdikan di satu wilayah dengan wilayah lainya tidak sama, mempuyani sejarah dan cerita unik sendiri-sendiri. Dulu sebuah desa perdikan, semua rakyat dibebaskan dari segala bentuk pajak negara, bebas kerja paksa, segala urusan diatur sendiri oleh desa perdikan, namun demikian tidak boleh bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh negara (Babad Ponorogo).
Di desa Setono Kota Lama merupakan tempat jasad-jasad pendiri Ponorogo dikebumikan, dan merupakan cikal bakal kabupaten Ponorogo oleh negara saat itu desa Setono dimerdekakan.
Di desa Tegalsari dan Karanggebang hadiah dari raja karena Kyai Mohammad Besari memajukan agama Islam dan Sinuwun Pakubuwono pernah ke Tegalsari ini ketika terjadi serangan di Surakarta.
Dan berikut ini cerita tentang desa perdikan Menang dan Srandil, lokasi desa ini bersebelahan, jalur Ponorogo ke Wonogiri.
Desa perdikan Menang masuk wilayah
kecamatan Jambon, satu-satunya desa perdikan di Ponorogo yang tidak diketemukan
makam penguasa atau makam bangsawan.
Pada tahun 1742 Sinuwun Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo karena ada serangan yang dipimpin Raden Mas Garendhi yang dibantu orang Cina dari Semarang. Keraton Kartusuro berhasil dibobol, Sinuwun beserta istri dan anaknya yang dikawal prajurit melarikan diri ke arah timur mencapai wilayah Ponorogo. Sampai di daerah Sawo dan Tegalsari, dan setelah mendapat masukan dari Kyai Ageng Mohammad Besari di Tegalsari, Sinuwun bermaksud kondur ke Kartosuro, dan sampai di daerah ini sudah kemalaman sehingga Sinuwun beserta rombongan menginap di rumah warga, yang sering dikenal Mbok Rondo Punuk karena seorang janda yang gemuk badannya. Di rumah ini Sinuwun beserta rombongan dihidangkan jenang katul (dedak) yang diwadahi lemper (dari tanah liat), Sinuwun terlihat lahap daharnya, waktu itu belum ada sendok, Sinuwun dahar memakai daun beringin sebagai pengganti sendok, Sinuwun dahar dari tengah dan menepi ke pinggir. Dan ketika sampai tepi jenang tidak bisa dimakan karena daun beringin sudah lemas layu karena terkena panasnya jenang katul.
Lalu Mbok Rondo Punuk spontan berucap, "Menyuap makanan kok dari tengah, pertanda kalau perang pasti kalah, coba dari tepi sedikit demi sedikit ke tengah, kalau perang pasti menang."
Lalu Sinuwun tersentak dengan ucapan pemilik rumah ini, karena ucapannya mengandung filosofi perang, dan dirumah ini Sinuwun menyusun siasat perang seperti kata-kata mbok Rondo.
Paginya Sinuwun dan rombongan berpamitan, namun Sinuwun masih menyembunyikan jati dirinya, dan mbok Rondo suatu saat disuruh datang ke tempatnya dengan ciri rumah berhalaman luas dan ada pohon beringinnya.
Pada tahun 1742 Sinuwun Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo karena ada serangan yang dipimpin Raden Mas Garendhi yang dibantu orang Cina dari Semarang. Keraton Kartusuro berhasil dibobol, Sinuwun beserta istri dan anaknya yang dikawal prajurit melarikan diri ke arah timur mencapai wilayah Ponorogo. Sampai di daerah Sawo dan Tegalsari, dan setelah mendapat masukan dari Kyai Ageng Mohammad Besari di Tegalsari, Sinuwun bermaksud kondur ke Kartosuro, dan sampai di daerah ini sudah kemalaman sehingga Sinuwun beserta rombongan menginap di rumah warga, yang sering dikenal Mbok Rondo Punuk karena seorang janda yang gemuk badannya. Di rumah ini Sinuwun beserta rombongan dihidangkan jenang katul (dedak) yang diwadahi lemper (dari tanah liat), Sinuwun terlihat lahap daharnya, waktu itu belum ada sendok, Sinuwun dahar memakai daun beringin sebagai pengganti sendok, Sinuwun dahar dari tengah dan menepi ke pinggir. Dan ketika sampai tepi jenang tidak bisa dimakan karena daun beringin sudah lemas layu karena terkena panasnya jenang katul.
Lalu Mbok Rondo Punuk spontan berucap, "Menyuap makanan kok dari tengah, pertanda kalau perang pasti kalah, coba dari tepi sedikit demi sedikit ke tengah, kalau perang pasti menang."
Lalu Sinuwun tersentak dengan ucapan pemilik rumah ini, karena ucapannya mengandung filosofi perang, dan dirumah ini Sinuwun menyusun siasat perang seperti kata-kata mbok Rondo.
Paginya Sinuwun dan rombongan berpamitan, namun Sinuwun masih menyembunyikan jati dirinya, dan mbok Rondo suatu saat disuruh datang ke tempatnya dengan ciri rumah berhalaman luas dan ada pohon beringinnya.
Dan di suatu waktu mbok Rondo dan keponakannya ingin pergi ke rumah orang yang telah menginap dirumahnya, betapa terkejutnya ternyata beliau adalah Sinuwun Pakubuwono II yang menjadi junjungannya. Dan oleh Siunuwun dihadiahi pakaian, perhiasan, serta piagam supaya diserahkan pada Bupati Ponorogo, dan oleh Sinuwun desanya dinyatakan sebagai desa perdikan dan dinamai Desa Menang, berawal dari sini kemenangan bisa diraih.
Disebelah barat desa Menang terdapat
desa Srandil, kedua desa ini bersebelahan bahkan balai desanya nyaris
berdampingan, dan keduanya sama-sama desa perdikan. Di desa Srandil ini
terdapat Astana Srandil dimana para bangsawan atau penguasa Ponorogo khususnya
para bupati Sumoroto beserta keluarga dan kerabat. Lokasi makam ini berada di
bukit utara jalan menuju Ponorogo-Wonogiri, dari gapura depan kurang lebih 1 km
sesampai dipuncak, dan sebelum ke puncak kita mampir ke juru kunci Pak Saidi untuk
minta ijin, atau pinjam kunci dan mengisi buku tamu. Barulah kita
mempersiapakan tenaga karena jalan terus menanjak dan hanya bisa dilewati jalan
kaki. Meski capek dan terengah-engah jangan khawatir sesampai diatas bisa
terobati dengan indahnya pemandangan perkampungan Ponorogo di utara, timur,
selatan dan barat yang hijau yang ditiup semilir angin, yang seakan Ponorogo
kepung gunung sebagai pagarnya, dan yang paling indah di sore hari kita bisa
menyaksikan matahari tenggelam di sela-sela gagahnya gunung Lawu.
Di komplek makam ini dikebumikan jasad-jasad, dari sebelah barat; Raden Mas Ruya Suryodikusumo (Patih), Raden Ayu Sumonagoro (istri bupati Sumoroto), Raden Mertokusumo (putra bupati Kutho Wetan, yang memulai babad Srandil), dan gedong sebelah timurnya; Raden Tumenggung Brotodirdjo dan istri bupati Sumoroto III, di luar gedung sebelah barat; Radenmas Tondowinoto dan istri, Wadono Kutu Tamansari, halaman sebelah timur Raden Aryogiri (Bupati Ponorogo), halaman sebelah timur Surodiwiryo (lurah Srandil).
Di komplek makam ini dikebumikan jasad-jasad, dari sebelah barat; Raden Mas Ruya Suryodikusumo (Patih), Raden Ayu Sumonagoro (istri bupati Sumoroto), Raden Mertokusumo (putra bupati Kutho Wetan, yang memulai babad Srandil), dan gedong sebelah timurnya; Raden Tumenggung Brotodirdjo dan istri bupati Sumoroto III, di luar gedung sebelah barat; Radenmas Tondowinoto dan istri, Wadono Kutu Tamansari, halaman sebelah timur Raden Aryogiri (Bupati Ponorogo), halaman sebelah timur Surodiwiryo (lurah Srandil).
Dan makam yang nisannya berupa batu
bata yang berserakan ini diyakini tempat jasad legenda Ponorogo Warok
Suromenggolo dikebumikan, meski di daerah Kertosari dan Ngampel Balong juga ada
makam Suromenggolo, namun menurut pak Saidi dan masyarakat sekitar tempat
inilah jasad beliau dikebumikan, yang lainnya berupa senjata atau barang-barang
pribadinya.
Dan dibukit sebelah timur diluar
komplek astana Srandil bisa kita ketemukan makam Eyang Potromenggolo, yang
merupakan tokoh penting di Ponorogo. Makamnya kurang terawat dibanding yang
berada di dalam gedong sebelah barat. Menurut pak Saidi jarang orang yang
mengetahui siapa beliau.
Peziarah biasanya datang
berombongan, dari wilayah Ponorogo, Madiun, dan Solo. Paling ramai pada Kamis
malam Jumat Pon, peziarah tinggal mampir ke rumah juru kunci yang berada di
dekat masjid menuju ke bukit, juru kunci akan siap 24 jam, dan bilamana pergi
kunci akan diserahkan kepada peziarah dan setelah selesai dikembalikan lagi ke
rumahnya.
Ada yang istimewa bagi juru kunci didesa perdikan di Ponorogo, mereka mendapat gaji dari Dinas Purbakala di Mojokerto, gajiannya diambil tiap 3 bulan sekali sambil melaporkan kegiatan triwulanannya, dan setiap semester sekali pergi ke Surabaya untuk melaporkan semesterannya.
Ketika ditanya berapa nilai gajinya, pak Saidi sambil tersenyum, "Pokok lumayan mas, luwih sejuta sebulan, lumayan bisa buat kebutuhan lainnya, meski ngambilnya harus ke Mojokerto, itung-itung sambil dolan.....".
Ada yang istimewa bagi juru kunci didesa perdikan di Ponorogo, mereka mendapat gaji dari Dinas Purbakala di Mojokerto, gajiannya diambil tiap 3 bulan sekali sambil melaporkan kegiatan triwulanannya, dan setiap semester sekali pergi ke Surabaya untuk melaporkan semesterannya.
Ketika ditanya berapa nilai gajinya, pak Saidi sambil tersenyum, "Pokok lumayan mas, luwih sejuta sebulan, lumayan bisa buat kebutuhan lainnya, meski ngambilnya harus ke Mojokerto, itung-itung sambil dolan.....".
Itu cerita desa perdikan jaman dulu, namun setelah Perjanjian Giyanti 1755, semua kabupaten diluar tanah Kejawen menjadi wilayah jajahan Belanda, dan oleh karena itu desa perdikan hilang kemerdekaanya. Dan berdasar Peraturan Pemerintah RI tahun 1946 semua desa perdikan hilang kemerdekaannya. Diakhir tahun 90-an banyak masyarakat di desa perdikan di Ponorogo mengurus sertifikat kepemilikan, dengan begitu tanah yang mereka miliki terpajak dan bisa diperjual-belikan.
Bagi perangkat desa mendapat tanah garapan berupa bengkok sebagian pengganti upah, seperti halnya di Desa Pulung Merdiko semua perangkat desa mendapat tanah bengkok, bahkan imam masjid, tukang adzan, dan penabuh bedug juga mendapat tanah bengkok.
Desa perdikan tinggalkan cerita
tentang ungkapan bahagia seorang raja terhadap jasa warganya, desa perdikan
wujud kedekatan penguasa dan rakyatnya. Meski tinggal cerita namun hubungan
kawulo dan gusti masih terpelihara sebagai tradisi orang Jawa yang menghormati
rajanya sampai akhir hayatnya. (Kompasiana -
Desa Perdikan Apresiasi Raja Buat Rakyatnya Yang Berjasa)
Sumber: https://paseban-jati.blogspot.co.id/2016/04/napak-tilas-gunung-srandil-ponorogo.html. Foto: Nanang Diyanto.
Sumber: https://paseban-jati.blogspot.co.id/2016/04/napak-tilas-gunung-srandil-ponorogo.html. Foto: Nanang Diyanto.
0 komentar:
Posting Komentar