Kabupaten Ponorogo adalah salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini terletak di koordinat 111° 17’ - 111° 52’ BT dan 7° 49’ - 8° 20’ LS dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 km². Kabupaten ini terletak di sebelah barat dari provinsi Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah atau lebih tepatnya 220 km arah barat daya dari ibu kota provinsi Jawa Timur, Surabaya. Kabupaten Ponorogo terdiri atas 21 kecamatan, yang dibagi lagi atas 305 desa dan kelurahan. Kabupaten Ponorogo berbatasan dengan Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun di utara, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek di timur, Kabupaten Pacitan di barat daya, serta Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) di barat. Ponorogo memiliki luas wilayah 1.371,78 km². Pada tahun 2015 berdasarkan hasil Sensus Penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo adalah 986.224 jiwa.
Hari jadi Kabupaten Ponorogo diperingati setiap tanggal 11 Agustus, karena pada tanggal 11 Agustus 1496, Bathara Katong diwisuda/dinobatkan sebagai adipati pertama Kadipaten Ponorogo. Pada tahun 1837, Kadipaten Ponorogo pindah dari Kota Lama ke Kota Tengah menjadi Kabupaten Ponorogo.
Kabupaten Ponorogo dikenal dengan julukan Kota Reog atau Bumi Reog karena daerah ini merupakan daerah asal dari kesenian Reog. Ponorogo juga dikenal sebagai Kota Santri karena memiliki banyak pondok pesantren, salah satu yang terkenal adalah Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak di desa Gontor, kecamatan Mlarak.
Setiap tahun pada bulan Suro (Muharram), Kabupaten Ponorogo mengadakan suatu rangkaian acara berupa pesta rakyat yaitu Grebeg Suro. Pada pesta rakyat ini ditampilkan berbagai macam seni dan tradisi, di antaranya Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.
Bahasa
Penduduk Kabupaten Ponorogo mayoritas merupakan bagian dari Suku Jawa. Sebagian besar penduduk Ponorogo menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek bahasa ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Bahasa Jawa yang digunakan di Ponorogo memiliki tiga tingkatan bahasa yaitu ngoko, kromo alus, dan kromo inggil. Ngoko digunakan saat berkomunikasi dengan orang yang sebaya, kromo alus untuk orang yang lebih tua seperti kakak, sedangkan kromo inggil untuk orang yang dihormati seperti orang tua, pejabat, dll.
Mata Pencaharian Masyarakat
Penduduk Kabupaten Ponorogo memiliki pekerjaan yang beragam. Mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Lainnya ada yang berprofesi sebagai PNS, pedagang, dan wiraswasta. Wilayah Kabupaten Ponorogo berada di dataran rendah dan sebagian dataran tinggi, sehingga usaha cocok tanam yang bisa dilakukan seperti Padi, Tembakau, Ubi kayu, Jagung, Kacang kedelai, Kacang tanah dan Tebu.
Religiositas
Sebagian besar penduduk Ponorogo menganut agama Islam. Ada juga penduduk yang menganut agama Protestan, Katolik, Buddha dan Hindu. Ada pula agama kepercayaan penduduk Ponorogo yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Terjadi pula sinkretisme kepercayaan di masyarakat Ponorogo. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Pendidikan
Di Kabupaten Ponorogo terdapat sekolah baik dari tingkat SD hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Terdapat pula pondok pesantren modern Gontor, yang merupakan salah satu institusi pendidikan Islam terkemuka di Indonesia. Selain itu terdapat juga Pondok Modern lain yang santrinya berasal dari berbagai pelosok Indonesia seperti Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, Pondok Pesantren Al-Islam Joresan, Pondok Modern Arrisalah, Pondok Pesantren Darul Huda, Pondok Pesantren al-Iman sumoroto, Pondok Pesantren Darun-Najaa dan Pesantren Putri Al-Mawaddah. Selain pondok pesantren terdapat juga Universitas Muhammadiyah, Universitas Merdeka, STAIN, INSURI, ISID (Institut Studi Islam Darussalam), dan AKPER Pemkab Ponorogo.
Transportasi
Ibukota kabupaten Ponorogo terletak 27 km sebelah selatan Kota Madiun, dan berada di jalur Madiun-Pacitan. Tranportasi umum yang sekarang banyak digunakan adalah kendaraan bermotor, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Ada sebagian kecil menggunakan sepeda angin (sepeda onthel). Dahulu ada jalur kereta api Madiun-Ponorogo-Slahung tetapi sudah tidak berfungsi sejak tahun 1988. Masih ada kereta yang ditarik kuda (dokar) yang digunakan sebagai alat transportasi utama.
Dokar ini biasa digunakan di daerah pinggiran, terutama untuk mengangkut pedagang yang hendak menuju pasar-pasar tradisional. Selain itu ada juga dokar yang khusus difungsikan sebagai kereta wisata, yang biasa digunakan untuk mengelilingi kota Ponorogo. Terdapat juga alat transportasi bus, dan angkodes (angkutan pedesaan) yang merupakan salah satu transportasi umum yang ada di Kabupaten Ponorogo.
Kesenian dan Kepariwisataan
Ponorogo dikenal dengan julukan kota reog karena daerah ini merupakan tempat lahirnya kesenian reog, yang kini menjadi icon wisata Jawa Timur. Setiap tanggal 1 Muharram (Suro dalam kalender Jawa), diselenggarakan Grebeg Suro yang juga merupakan hari lahir Kota Ponorogo. Dalam acara Grebeg Suro ini diadakan Kirab Pusaka yang biasa diselenggarakan sehari sebelum tanggal 1 Muharram. Pusaka peninggalan pemimpin Ponorogo zaman dulu, saat masih dalam masa Kerajaan Wengker. Pusaka tersebut diarak bersama pawai pelajar dan pejabat pemerintahan di Kabupaten Ponorogo. Kirab Pusaka dimulai dari Makam Batoro Katong (pendiri Ponorogo) di daerah Pasar Pon sebagai kota lama, ke Pendopo Kabupaten. Pada Malam harinya, diselenggarakan Festival Reog Internasional di Aloon-aloon. Esok paginya ada acara Larung Do’a di Telaga Ngebel, di mana nasi tumpeng dan kepala kerbau dilarung bersama do’a ke tengah-tengah Danau Ngebel. Grebeg Suro ini menjadi salah satu jadwal kalender wisata Jawa Timur.
Obyek wisata lain yang dapat dikembangkan sejajar dengan obyek wisata didaerah lain yaitu Telaga Ngebel. Panorama yang dapat dilihat di Telaga Ngebel sangat menakjubkan. Danau yang masih alami dan belum banyak terjamah fasilitas umum ini, dikelilingi oleh Gunung Wilis. Merupakan objek wisata potensial, yang mampu mendatangkan turis domestik maupun mancanegara apabila dikembangkan dan dikelola dengan baik.
Paguyuban Warga Ponorogo
Warga Ponorogo yang kini tersebar diseluruh dunia mempunyai sebutan PAWARGO (Paguyuban Warga Ponorogo). Paguyuban ini terbentuk karena persamaan daerah asal di tanah perantauan. Hingga kini sudah ada sekitar 200 Paguyuban Warga Ponorogo diberbagai daerah.
Makanan Khas
Makanan yang menjadi khas Ponorogo adalah sate dengan bumbu kacangnya. Di Ponorogo, ada dua kampung sate yang tersohor. Kampung pertama, dikenal dengan Gang Sate, tempat si legendaris Sate Ayam Tukri Sobikun. Tepatnya di Jl Lawu Gang I No 43, Kelurahan Nologaten, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo. Kampung sate kedua yang juga diberi nama Gang Sate di Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.
Kota Reyog
Apabila berbicara tentang Ponorogo, maka tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai budaya. Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, substansi dari kesenian reog. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesenian ini asli dari daerah Ponorogo yang sejak dulu menjadi ikon bagi masyarakat Ponorogo. Kedudukan reog sangat vital dan tidak tergantikan. Kedua, tentang berdirinya daerah Ponorogo. Di dalam buku Babad Ponorogo yang ditulis oleh Poerwowidjojo diceritakan bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dan musyawarah antara Raden Katong, Ki Ageng Mirah, dan Joyodipo pada hari Jum’at malam bulan purnama. Bertempat di tanah lapang dekat gumuk (wilayah Katongan sekarang). Di dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan nanti dinamakan “Pramana raga” yang akhirnya lama kelamaan menjadi Ponorogo. Berawal dari sinilah maka terbentuk budaya Ponorogo yang baru.
Kota Pesantren
Ponorogo (dahulu Kadipaten Ponorogo) adalah tanah di bawah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro, sebuah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Bersama Ki Ageng Mirah, Raden Batoro Katong bahu-membahu membangun kadipaten Ponorogo, terlebih lagi dalam sisi religiusitas. Pengaruh Islam berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan tumbuh suburnya pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama islam. Pesantren-pesantren tersebut (baik salafiyah maupun modern) menyebar hampir di seantero wilayah Ponorogo. Beberapa pesantren tersebut diantaranya adalah Pesantren Gebangtinatar, Pondok Modern Gontor,dan Wali Songo yang menjadi pusat studi islam terkemuka. .
Pendidikan
Di Kabupaten Ponorogo terdapat sekolah baik dari tingkat SD hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Terdapat pula pondok pesantren modern Gontor, yang merupakan salah satu institusi pendidikan Islam terkemuka di Indonesia. Selain itu terdapat juga Pondok Modern lain yang santrinya berasal dari berbagai pelosok Indonesia seperti Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, Pondok Pesantren Al-Islam Joresan, Pondok Modern Arrisalah, Pondok Pesantren Darul Huda, Pondok Pesantren al-Iman sumoroto, Pondok Pesantren Darun-Najaa dan Pesantren Putri Al-Mawaddah. Selain pondok pesantren terdapat juga Universitas Muhammadiyah, Universitas Merdeka, STAIN, INSURI, ISID (Institut Studi Islam Darussalam), dan AKPER Pemkab Ponorogo.
Transportasi
Ibukota kabupaten Ponorogo terletak 27 km sebelah selatan Kota Madiun, dan berada di jalur Madiun-Pacitan. Tranportasi umum yang sekarang banyak digunakan adalah kendaraan bermotor, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Ada sebagian kecil menggunakan sepeda angin (sepeda onthel). Dahulu ada jalur kereta api Madiun-Ponorogo-Slahung tetapi sudah tidak berfungsi sejak tahun 1988. Masih ada kereta yang ditarik kuda (dokar) yang digunakan sebagai alat transportasi utama.
Dokar ini biasa digunakan di daerah pinggiran, terutama untuk mengangkut pedagang yang hendak menuju pasar-pasar tradisional. Selain itu ada juga dokar yang khusus difungsikan sebagai kereta wisata, yang biasa digunakan untuk mengelilingi kota Ponorogo. Terdapat juga alat transportasi bus, dan angkodes (angkutan pedesaan) yang merupakan salah satu transportasi umum yang ada di Kabupaten Ponorogo.
Kesenian dan Kepariwisataan
Ponorogo dikenal dengan julukan kota reog karena daerah ini merupakan tempat lahirnya kesenian reog, yang kini menjadi icon wisata Jawa Timur. Setiap tanggal 1 Muharram (Suro dalam kalender Jawa), diselenggarakan Grebeg Suro yang juga merupakan hari lahir Kota Ponorogo. Dalam acara Grebeg Suro ini diadakan Kirab Pusaka yang biasa diselenggarakan sehari sebelum tanggal 1 Muharram. Pusaka peninggalan pemimpin Ponorogo zaman dulu, saat masih dalam masa Kerajaan Wengker. Pusaka tersebut diarak bersama pawai pelajar dan pejabat pemerintahan di Kabupaten Ponorogo. Kirab Pusaka dimulai dari Makam Batoro Katong (pendiri Ponorogo) di daerah Pasar Pon sebagai kota lama, ke Pendopo Kabupaten. Pada Malam harinya, diselenggarakan Festival Reog Internasional di Aloon-aloon. Esok paginya ada acara Larung Do’a di Telaga Ngebel, di mana nasi tumpeng dan kepala kerbau dilarung bersama do’a ke tengah-tengah Danau Ngebel. Grebeg Suro ini menjadi salah satu jadwal kalender wisata Jawa Timur.
Obyek wisata lain yang dapat dikembangkan sejajar dengan obyek wisata didaerah lain yaitu Telaga Ngebel. Panorama yang dapat dilihat di Telaga Ngebel sangat menakjubkan. Danau yang masih alami dan belum banyak terjamah fasilitas umum ini, dikelilingi oleh Gunung Wilis. Merupakan objek wisata potensial, yang mampu mendatangkan turis domestik maupun mancanegara apabila dikembangkan dan dikelola dengan baik.
Paguyuban Warga Ponorogo
Warga Ponorogo yang kini tersebar diseluruh dunia mempunyai sebutan PAWARGO (Paguyuban Warga Ponorogo). Paguyuban ini terbentuk karena persamaan daerah asal di tanah perantauan. Hingga kini sudah ada sekitar 200 Paguyuban Warga Ponorogo diberbagai daerah.
Makanan Khas
Makanan yang menjadi khas Ponorogo adalah sate dengan bumbu kacangnya. Di Ponorogo, ada dua kampung sate yang tersohor. Kampung pertama, dikenal dengan Gang Sate, tempat si legendaris Sate Ayam Tukri Sobikun. Tepatnya di Jl Lawu Gang I No 43, Kelurahan Nologaten, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo. Kampung sate kedua yang juga diberi nama Gang Sate di Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.
Kota Reyog
Apabila berbicara tentang Ponorogo, maka tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai budaya. Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, substansi dari kesenian reog. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesenian ini asli dari daerah Ponorogo yang sejak dulu menjadi ikon bagi masyarakat Ponorogo. Kedudukan reog sangat vital dan tidak tergantikan. Kedua, tentang berdirinya daerah Ponorogo. Di dalam buku Babad Ponorogo yang ditulis oleh Poerwowidjojo diceritakan bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dan musyawarah antara Raden Katong, Ki Ageng Mirah, dan Joyodipo pada hari Jum’at malam bulan purnama. Bertempat di tanah lapang dekat gumuk (wilayah Katongan sekarang). Di dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan nanti dinamakan “Pramana raga” yang akhirnya lama kelamaan menjadi Ponorogo. Berawal dari sinilah maka terbentuk budaya Ponorogo yang baru.
Kota Pesantren
Ponorogo (dahulu Kadipaten Ponorogo) adalah tanah di bawah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro, sebuah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Bersama Ki Ageng Mirah, Raden Batoro Katong bahu-membahu membangun kadipaten Ponorogo, terlebih lagi dalam sisi religiusitas. Pengaruh Islam berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan tumbuh suburnya pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama islam. Pesantren-pesantren tersebut (baik salafiyah maupun modern) menyebar hampir di seantero wilayah Ponorogo. Beberapa pesantren tersebut diantaranya adalah Pesantren Gebangtinatar, Pondok Modern Gontor,dan Wali Songo yang menjadi pusat studi islam terkemuka. .
0 komentar:
Posting Komentar