Pada masa pemerintahan Airlangga, wilayah Kerajaan Wengker tidak pernah terjadi peperangan maupun persengketaan, sebaliknya menjadi daerah yang aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu Kediri atau Daha dan Jenggala atau Panjalu.
Sepeninggal Airlangga terjadi perang saudara antara kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil itu digunakan Wengker menyusun kekuatan baru sehingga sampai berdirinya Majapahit nama Wengker masih eksis bahkan hubungan kedua kerajaan terjalin dengan baik.
Di masa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin seorang raja bernama Raden Kudamerta (Wijayarajasa), dalam Kitab Nagarakartagama disebutkan “Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang Upandra Nurun Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama”. Dari kitab ini menunjukkan bahwa yang membangun kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa, sebagai raja pertama. Dalam Kitab ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan Bhre Dhaha.
Raden Kudamerta berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre Parameswara dari Pamotan yang dikenal dengan nama Cri Wijayarajasa. Yang dimaksud Bhre Dhaha adalah Dewi Maharajasa adik Tribhuwana. Berarti Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.
Selain menjadi raja Wengker, Wijayarajasa merupakan tokoh yang mempunyai peran besar di Majapahit, antara lain : salah satu dari 8 tokoh yang diundang pada waktu pengangkatan Mahapatih Gajahmada tahun 1364 M, diangkat menjadi anggota Dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan pertimbangan agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap kesalahan yang dilakukan Gajahmada atas peristiwa Bubat, dan mendapat penghargaan dari Tribhuwana Tunggadewi.
Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi/paduka Sori menikah dengan Hayam Wuruk tahun 1357 M. Setelah prabu Hayam Wuruk gagal menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubat. Pernikahan itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi adalah adik Tribhuawana Tunggadewi (ibu Hayam Wuruk). Hayam Wuruk dan Susumma Dewi adalah sama-sama cucu Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana).
Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua kerajaan (Majapahit dan Wengker), menurut Dr.NJ.Krom bahwa untuk pergi ke Bubat disamakan pendapat dengan ke Wengker. Sepeti diketahui Perang Bubat terjadi sebagai akibat perkawinan politik yaitu salah satu cara Majapahit menaklukkan kerajaan disekitarnya. Dalam hal ini meski Wengker adalah daerah kekuasaan Majapahit, tetapi kekuatan Wengker sangat diperhitungkan Majapahit kala itu.
Dari berbagai sumber, dalam kurun waktu tersebut memang jarang diungkap keadaan dalam kerajaan Wengker sendiri karena memang peran Wijayarajasa lebih banyak di Majapahit dibanding memimpin kerajaannya sendiri. Ada yang memperkirakan pusat pemerintahan Wengker pada saat itu berada di sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo. Wijayarajasa meninggal pada tahun 1310 saka dimakamkan di Manar dengan nama Wisnubhawana.
Era kepemimpinan Wengker di masa Majapahit berikutnya adalah Dyah Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawijaya. Ia memimpin Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit tahun 1447-1451 M. Setelah kekosongan kekuasaan selama tiga tahun, ia memimpin Majapahit selama 10 tahun (1456-1466 M).
Dalam Kitab Pararaton, ia bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Ia meninggal tahun 1466 M dan dimakamkan di Puri. Sampai masa ini nama Wengker masih disebut-sebut dalam sejarah Majapahit.
----
Sumber: http://jetis.ponorogo.go.id/2015/12/wengker-dan-sejarah-ponorogo/
0 komentar:
Posting Komentar